Halaman

About

Facebook

Saturday, May 14, 2016

Aku


Aku mendengar suara itu lagi. Suara yang hampir tiap malam merasuk dalam mimpi-mimpiku. Suara yang tak asing, namun sulit bibir ini berucap. Musik apa itu? Ia seolah membawa cerita dimasa laluku. Tapi cerita apa? Aku selalu kehilangan ingatan di setiap malam dalam tidur lelapku.
    Kembali kurebahkan badan di kasur empuk yang kubeli bulan lalu dengan gaji pertama  sebagai seorang penyanyi. Sungguh nikmat dunia rasanya, kalau saja aku tahu ini sejak belum menikah pasti keluarga kecilku sekarang sudah bahagia dan bergelimang harta. Tinggal menyanyi beberapa menit saja sudah dapat gaji yang berlimpah. Istriku kini hidup makmur bahagia, anakku satu-satu nya yaitu Izam dapat lanjut sekolah lagi, sekarang ia sudah kelas 3 SD.
      Mau apa tinggal tunjuk, tak butuh waktu lama untuk memilikinya. Senyuman mereka kini bermekaran setiap hari. Istriku tak perlu susah payah bekerja, tak perlu susah-susah cuci baju tetangga untuk keperluan sekolah Izam lagi. Izampun tak perlu makan ejekan teman-temannya, yang selalu bilang punya bapak membudaya, dan tak kekinian. Kemarin-kemarin sebelum aku jadi terkenal, Izam selalu pulang dengan mata sembab. Diejek teman-teman seusianya, bahwa punya bapak yang jadul suka pakai blangkon kemana-mana, juga main musik yang membuat kantuk semua orang. Entahlah apa yang dipikiran anak itu saat ejekan temannya masuk kedalam telinga. Malu karena pekerjaan bapaknya yang dulu atau tak rela bapaknya dicemooh oleh teman-teman seusianya. Tapi kini tak lagi, cukuplah Izam makan nasi dan ikan. Tak akan kubiarkan anakku satu-satunya itu makan ejekan temannya lagi.
   Aku merasa benar-benar hidup sekarang. Setelah bertahun-tahun aku terjebak dengan keluarga yang membudaya. Izam tak akan kupaksa menjadi apa yang kumau seperti bapak dan ibuku dulu, ketika memaksa ku untuk bermain gamelan. Biarlah ia menjadi seperti apa yang di suka.
Kembali ku tatap langit kamar. Melihat genting yang mulai longsor kebawah, yang harus rajin-rajin dibenahi saat musim penghujan tiba. Aku meringis melihatnya. Rumah ini sudah cukup tua untuk ditinggali. Bagaimana tidak, rumah ini adalah peninggalan nenek buyutku. Desain arsitekturnya pun masih jaman dulu sekali. Dengan perlengkapannya yang masih jadul alias jaman dulu. Tungku tempat memasakpun masih menggunakan kayu. Ada juga Buffet berisi benda-benda yang katanya peninggalan sejarah. Almarinya pun masih berisi puluhan jarik-jarik batik nenek buyut, yang mungkin sebagian sudah dimakan rayap atau dijual istriku untuk makan sehari-hari. 27 tahun aku hidup disini, sebagai seorang seniman desa yang hidup sederhana. Almarhum bapak pernah mengatakan tak apa engkau makan secukupnya, yang penting mereka dapat makan budaya yang kau berikan.
      Aku tertegun, kini aku bukanlah aku yang dulu. Aku sudah menjadi bapak dan seorang suami bagi istriku, mana mungkin aku memberikan mereka sedikit asupan makanan, mereka bisa sengsara. Aku tak akan tega melihatnya. Rumah ini memang memiliki banyak kenangan dimasa kecilku, aku yang masih kecil hingga aku menemukan seorang wanita dan mempersuntingnya menjadi istriku. Nur bukanlah wanita yang mudah mengeluh, ia tak pernah mengeluh dengan kondisiku sebelumnya. Namun, tetap saja aku tak akan membiarkan wanitaku susah payah karena aku. Tidur di ranjang yang mulai retak dengan ditemani nyamuk yang berterbangan, menggigit kulitnya yang mulus kemudian menghisap darahnya yang begitu manis. Aku harus merombak rumah ini, aku sudah terkenal sekarang. Bagaimana jika nanti ada tamu istimewa mendatangi rumahku? Dan membawa sebuah benda dibahu yang bernama kamera itu. Bertanya dari A sampai Z, yang harus kujawab dengan senyuman ramah untuk para penggemar bapak muda ini. Aku harus merubah gayanya, ala-ala rumah beken jaman sekarang. Atau pindah dan beli apartemen kemudian menjual rumah ini. Rumah masa kecilku.
     Lagi pula banyak barang-barang yang pasti dicari kolektor dirumah ini. Jika dijual lumayan juga hasilnya. Alat musik tradisional juga banyak, karena keluarga besar rata-rata seniman budaya. Pasti dapat banyak untung. Lalu uangnya akan kugunakan untuk membeli perlengkapan Band Izam, anak itu sepertinya suka musik, mungkin bakatnya menurun dari keluarga besar. Namun, aku tak pernah mengajarinya untuk menjadi seperti aku yang dulu.
       Hah, mengapa baru sekarang aku seperti ini? Coba saja jika aku sadar dari dulu. Tak perlu menghabiskan waktu untuk bermain gamelan, yang upah dari bermainnya tak seberapa cukup untuk kebutuhan. Yang menyewa untuk bermain pun tak seberapa banyak. Tidak seperti saat ini, ketika aku bernyanyi didedapan banyak orang dengan lagu yang benar-benar kekinian. Berbagai tawaranpun membanjiri. Bersandiwara dilayar kaca atau sekedar menawarkan sebuah produk yang juga akan muncul dilayar kaca. Dilihat oleh ribuan orang, bahkan seluruh Indonesia. Hanya menghabiskan sedikit waktu, namun menghasilkan banyak uang.
Entahlah, apa yang akan dikatakan bapak dan ibuku jika mereka masih hidup. Marah? Atau bahkan murka? Lagi pula mengapa harus aku yang melanjutkan misi mereka? Ada banyak pemuda di dunia ini. Harusnya mereka yang melakukan itu.
Sebagai seorang bapak untuk Izam dan seorang suami bagi Nur, aku juga ingin keluarga ku bahagia. Bahagia karena hidup bercukupan. Semuanya butuh uang, aku tak mau menjadi orang yang munafik akan hal itu. Aku juga ingin melihat Izam memakai toga dan punya gelar sarjana. Jadi dosen atau menjadi seorang dokter. Tidak menjadi seperti bapaknya ini. Izam anak yang manis, ia begitu penurut. Izam jarang sekali menghabiskan waktu dengan temannya disiang hari, entah apa yang dilakukan anak itu tiap siang. Ketika aku pulang Izam selalu dirumah, dan menyambutku dengan secangkir kopi ditangannya. Memijit pundak layaknya seorang anak perempuan menyambut bapaknya. Ia tak pernah meminta untuk dibelikan mainan, katanya mainan dirumah sudah cukup banyak, juga membuatnya bahagia. Ya, alat-alat musik peninggalan keluarga. Biarlah dia melakukan hal yang ia suka, aku tak akan melarangnya. Asal jangan seperti bapaknya.
Aku menutup mata, semilir angin seolah menjadi dongeng yang menghantarkan untuk tidur. Samar-samar kudengar suara, suara yang sering datang dalam mimpi. Aku membuka mata, bangun dari tempat tidur dan mencari sumber suara. Itu suara gamelan, beserta tembang jawa yang mengiringi musiknya. Tembang yang sering aku nyanyikan saat aku diundang dalam acara-acara di desa.
Mataku terbelalak, aku melihat Izam duduk didepan gamelan, mulutnya bergumam. Disampingnya terlihat sebuah piala. Aku tak sanggup berkata. Kakiku seolah kaku, mulutku sekejap menjadi beku. Izam tersenyum manis melihatku.