![]() |
| Alhamdulillah bangku depan lagi. gak sia-sia bangun pagi-pagi hehe. |
![]() |
![]() |
Surabaya, 5 Oktober 2019
Pagi ini, adalah pagi yang sudah ditunggu-tunggu. Setelah
sebelumnya aku tak bisa mengikuti seminar di Jogja, tapi alhamdulillah bisa
bertemu lagi dengan penulis favoritku di Surabaya.
Kali ini, aku datang ke seminar Boy Candra tidak
sendirian. Bersama Fira, salah satu sahabatku. Ini akan menjadi pertemuan
pertamanya dengan Boy Candra. Sebenarnya tahun 2017 lalu, kami berdua sempat
mendaftarkan diri keseminar Boy Candra. Tapi, karena suatu hal, Fira tak bisa
datang, sangat disayangkan. Namun akhirnya, setelah sekian lama ia dapat
bertemu juga dengan Bang Boy.
Kami berdua berangkat dari Madura pukul enam pagi kurang
beberapa menit. Aku sendiri sudah mulai bersiap sejak setengah lima pagi.
Rencananya, kami berniat ke Surabaya naik kapal. Tapi ternyata, kapalnya sudah
jalan. Sedikit terlambat. Aku tahu, Fira paling tidak suka menuggu, jadi kita
putuskan lewat jembatan Suramadu. Lagi pula, kalau harus menunggu kapal datang,
akan memakan banyak waktu. Bisa-bisa sampai di Perak jam tujuh lebih. Aku juga
gak sabar sih kalau harus menunggu.
Seperti biasa, jika bersama Fira ke Surabaya, andalan
kami adalah google maps. Biasanya, jika aku berangkat
sendirian ke Surabaya aku selalu naik mang ojek. Kadang walau aku sudah naik
mang ojek, aku masih sering melihat map,
jadi sudah terbiasa juga pakai map. Namun walau begitu, kami masih
salah ambil jalan, sampai di Gubeng aku sedikit ragu harus ambil jalur yang
mana, karena salah terpaksa harus putar balik.
Kami sampai di Lokasi Seminar sekitar pukul 07.20 lebih.
Sampai disana, bingung. Banyak anak sekolah. Banner-banner yang ada bertuliskan “olimpiade Matematika”. Kami mencari
gedung auditorium tempat seminar akan dilaksankan.
Ketika sudah sampai di depan auditorium masih juga
dibingungkan dengan panitia. Kami bingung harus duduk di bawah atau di tribun. Karena
takut salah tempat duduk, kami bertanya pada panitia. Kata salah satu panitia, peserta duduk di atas mbak. Sampai di
atas diberi tahu lagi, untuk peserta di
bawah mbak duduknya. Fira kesal, aku bingung, panitia debat. Hehe. Lucu.
Namun pada akhirnya, kami duduk di bawah. Iya, dibawah saja, biar bisa lihat
Bang Boy lebih dekat.
Masalah selesai, sekarang tinggal menunggu Bang Boy datang.
Meski sering berjumpa dengan laki-laki berdarah minang itu, rasanya masih
grogi, bercampur senang, juga tak menyangka. Ternyata datang ke seminar di luar
kampus bersama teman asik juga, ada yang bisa diajak ngobrol. Setidaknya, kalau
bingung tidak benar-benar terlihat seperti orang hilang.
Akhirnya, sekitar hampir
pukul sebelas siang, Bang Boy datang menyampaikan materi. Kudengar dengan
serius, apalagi pada bagian mengelola sosial media dan juga mengenai penerbit.
Ya Allah, rasanya pengen banget jadi penulis. Buat Bapak bangga punya anak aku.
Setidaknya, aku meninggalkan jejak di muka bumi ini.
Dengan karyaku, dunia tau, bahwa aku ada di sini. Bahwa
aku pernah tinggal di sini. Melihat namaku tercantum di sampul buku milikku.
Melihat bukuku ikut berjejer di rak buku bersama dengan penulis-penulis lain. Rasa
manis, walau masih belum menjadi nyata.
Waktu berjalan, rasanya
baru sebentar mendengar penulis itu berbicara, tau-tau sudah selesai saja. Sebenarnya
aku ingin bertanya pada saat sesi tanya jawab, tapi takut. Aku takut
pertanyaanku tidak penting. Penyakit ini memang selalu saja membuatku tidak
percaya diri.
Setelah semuanya selesai,
akhirnya sesi yang ditunggu-tunggu datang juga. Sesi tanda tangan dan foto. Panas
dingin. Ini yang selalu membuatku gugup. Namun, kali ini antrenya tak begitu
panjang, bagiku tidak seperti biasanya. Namun sedikit kecewa dengan adik
panitia. Ya,, aku tahu mungkin waktunya sudah mepet. Tapi tolonglah jangan
korbankan pesertanya. Tadi bagaimana loh mengatur waktu acaranya? Aku juga
pernah jadi panitia. Fotonya kayak gak ikhlas pula, belum siap udah dicekrek.
Tapi terlepas dari itu
semua, tetep seneng bisa ketemu Bang Boy. Tetap terima kasih untuk teman-teman
UINSA. Alhamdulillah. Aku gak sangka, ternyata Bang Boy ingat namaku ehe. Saat
kukasihkan buku untuk ditanda tangani, Bang Boy bilang, “Ria ya?” seneng
banget. Alhamdulillah.
Bagian dari setiap acara
Bang Boy yang paling aku suka adalah saat minta tanda tangan, bisa mengobrol
walau hanya sebentar.
Alhamdulillah tahun ini aku sudah ada draff buku. Aku masih ingat, tahun lalu
saat tour Malik dan Elsa, waktu Bang Boy
tanda tangan di topiku yang bertuliskan “penulis” Bang Boy bertanya padaku,
“sudah nulis?” kujawab masih sedikit. Alhamdulillah juga tahun ini ada kemajuan
saat Bang Boy bertanya padaku sudah menulis atau belum. Aku sudah menulis,
Bang, tulisanku sudah kukirim ke penerbit meskipun aku belum tahu lolos atau
tidak. Jadi, begini percakapan kami saat itu.
“Ria, ya?” adek panitia
memberikan buku ku pada Bang Boy.
“Iya, Bang. Dikasih
kata-kata aja.” Ya, aku memang selalu begitu. Bukuku sudah bertanda tangan,
jadi aku lebih sering minta tolong diberi kata-kata saja.
“gimana udah nulis?” tanya
Bang Boy sembari menulis kata-kata di bukuku.
“U..dah, Bang,” jawabku
dengan agak grogi dikit hehe.
“Udah dikirim penerbit?”
“iya udah juga, Bang.”
“Kirim ke penerbit mana?”
aku mengingat ingat nama penerbit yang kukirimkan naskahnya, namanya bahasa
inggris susah dibaca, akhirnya aku menjawab, “ke penerbit bang hehe”
“Iya, nama penerbitnya
apa?”
“Ke .......... Bang,”
“Oh ..... kenapa gak
dikirim ke .....” tanya bang Boy sembari memberi buku lalu kita foto.
“gak pede, Bang,” jawabku
sembari berjabat tangan dengan Bang Boy. Kali ini punggung tangannya
kutempelkan di dahiku. Terbawa suasana, lagipula wajar untuk menghormati yang
lebih tua.
Percakapan kami selesai
sampai di situ. Singkat, namun istimewa. Justru yang sebentar itu rasanya susah
sekali dilupakan. Terima kasih ya, Bang Boy.
Pulang dari Surabaya, aku
dan Fira pakai maps seperti biasa,
salah ambil jalan lagi hehe. Tapi gak nyasar kok. Tetap sampai ke Suramadu.
Alhamduliillah.
Oh iya, aku ingin menulis
sesuatu untuk Uda Boy Candra. Beliau adalah penulis pertama yang benar-benar
aku sukai karyanya. Terimasih Uda sudah membuatku semakin senang membaca dan
menulis. Dan lagi, kata temanku, harus sopan kalau sama Uda Boy Candra. Bahasa
jangan kayak ke temen sendiri. Soalnya Uda Boy sudah punya istri, juga bukan
teman sebayaku. Baiklah, sepertinya selama ini aku kurang sopan.
Teruntuk Boy Candra, tetaplah
memberi napas untuk tulisanku dengan karyamu.
Teruntuk Uda Boy, semoga selalu baik.
Ternyata sudah berjalan empat tahun sejak aku menemukan
karya seorang penulis berdarah minang itu. Boy Candra, penulis pertama yang
benar-benar aku sukai karyanya. Aku bahkan tak menyangka, akan membeli buku
karangan beliau tiap kali terbit. Padahal, aku termasuk anak yang sayang sekali
untuk beli buku. Lebih baik pinjam. Dari pada harus mengeluarkan uang untuk
sebuah buku yang hanya bisa dibaca satu kali.
Kalau Uda membaca tulisanku di awal 2017 lalu, tentu Uda
tahu bagaimana aku menemukan karya Uda. Benar-benar tidak disengaja.
Uda, terima kasih sudah ramah pada pembacamu. Terima
kasih untuk ilmu yang kau berikan, untuk motivasi yang kau tuliskan di media
sosialmu. Untuk semua karyamu, juga terima kasih. Aku beruntung bisa menemukan
mereka.
Sampai sekarang, masih tidak bisa berhenti bersyukur karena
bisa bertemu dengan Uda. Diingat namanya, dan bisa berbincang meski hanya
sebentar.
Uda, minta doanya untuk teman tumbuhmu ini ya. Semoga
bisa lekas menerbitkan buku. Tidak harus menjadi seperti Uda, kurasa itu
terlalu muluk-muluk. Tahun ini, aku memberanikan diri mengirimkan karyaku yang
tidak seberapa ke salah satu penerbit. Awalnya aku ragu, namun seorang teman
meyakinkanku. Dia sudah menerbitkan buku juga, sekarang ia menuntut ilmu di
Sumatra Barat.
Uda, aku ini bukan seseorang yang penuh percaya diri. Aku
gadis yang terlahir dengan begitu banyak ketakutan. Namun, meski begitu aku
selalu mencoba untuk memberanikan diri.
Uda, dari dulu aku sudah senang sekali menulis. Walaupun
menulis hal-hal yang tidak begitu penting. Tapi, aku tak berani membagikannya
ke orang lain. Aku takut dikira galau, aku takut dikasihani. Tapi sekarang, aku
sudah mulai memberanikan diri membagikan tulisanku. Namun, ketakutannya
berubah. Tidak lagi takut dikira curhat, tidak takut dikasihani. Tapi aku takut
tulisanku dinilai jelek oleh orang lain. Meski begitu, aku tetap menulis.
Hingga kemarin, aku ingat Uda mengatakan, “Menuliskan
seolah-olah kamu sedang menulis untuk satu orang. Jadi tidak perlu takut jika
tulisanmu tidak disukai beberapa orang.”
Sejak tahun 2015 lalu, aku mulai menulis di blog ini,
sekadar cerita biasa. Curahan hati. Namun aku senang, sebab melalui tulisan aku
bisa bercerita apa saja. Aku menulis juga agar saat ingatanku sudah terbatas,
aku bisa membaca tulisanku kembali dan meruncingkan ingatanku lagi.
Terima kasih Uda. Doa baik untukmu. Semoga sehat selalu.
Salam dari pembacamu.











0 comments:
Post a Comment