Halaman

About

Facebook

Tuesday, October 8, 2019

Goresan Tinta untuk Boy Candra (Bag.6)

Alhamdulillah bangku depan lagi. gak sia-sia bangun pagi-pagi hehe.






Surabaya, 5 Oktober 2019
Pagi ini, adalah pagi yang sudah ditunggu-tunggu. Setelah sebelumnya aku tak bisa mengikuti seminar di Jogja, tapi alhamdulillah bisa bertemu lagi dengan penulis favoritku di Surabaya.
Kali ini, aku datang ke seminar Boy Candra tidak sendirian. Bersama Fira, salah satu sahabatku. Ini akan menjadi pertemuan pertamanya dengan Boy Candra. Sebenarnya tahun 2017 lalu, kami berdua sempat mendaftarkan diri keseminar Boy Candra. Tapi, karena suatu hal, Fira tak bisa datang, sangat disayangkan. Namun akhirnya, setelah sekian lama ia dapat bertemu juga dengan Bang Boy.
Kami berdua berangkat dari Madura pukul enam pagi kurang beberapa menit. Aku sendiri sudah mulai bersiap sejak setengah lima pagi. Rencananya, kami berniat ke Surabaya naik kapal. Tapi ternyata, kapalnya sudah jalan. Sedikit terlambat. Aku tahu, Fira paling tidak suka menuggu, jadi kita putuskan lewat jembatan Suramadu. Lagi pula, kalau harus menunggu kapal datang, akan memakan banyak waktu. Bisa-bisa sampai di Perak jam tujuh lebih. Aku juga gak sabar sih kalau harus menunggu.
Seperti biasa, jika bersama Fira ke Surabaya, andalan kami adalah google maps. Biasanya, jika aku berangkat sendirian ke Surabaya aku selalu naik mang ojek. Kadang walau aku sudah naik mang ojek, aku masih sering melihat map,  jadi sudah terbiasa juga pakai map. Namun walau begitu, kami masih salah ambil jalan, sampai di Gubeng aku sedikit ragu harus ambil jalur yang mana, karena salah terpaksa harus putar balik.
Kami sampai di Lokasi Seminar sekitar pukul 07.20 lebih. Sampai disana, bingung. Banyak anak sekolah. Banner-banner yang ada bertuliskan “olimpiade Matematika”. Kami mencari gedung auditorium tempat seminar akan dilaksankan.
Ketika sudah sampai di depan auditorium masih juga dibingungkan dengan panitia. Kami bingung harus duduk di bawah atau di tribun. Karena takut salah tempat duduk, kami bertanya pada panitia. Kata salah satu panitia, peserta duduk di atas mbak. Sampai di atas diberi tahu lagi, untuk peserta di bawah mbak duduknya. Fira kesal, aku bingung, panitia debat. Hehe. Lucu. Namun pada akhirnya, kami duduk di bawah. Iya, dibawah saja, biar bisa lihat Bang Boy lebih dekat.
Masalah selesai, sekarang tinggal menunggu Bang Boy datang. Meski sering berjumpa dengan laki-laki berdarah minang itu, rasanya masih grogi, bercampur senang, juga tak menyangka. Ternyata datang ke seminar di luar kampus bersama teman asik juga, ada yang bisa diajak ngobrol. Setidaknya, kalau bingung tidak benar-benar terlihat seperti orang hilang.
            Akhirnya, sekitar hampir pukul sebelas siang, Bang Boy datang menyampaikan materi. Kudengar dengan serius, apalagi pada bagian mengelola sosial media dan juga mengenai penerbit. Ya Allah, rasanya pengen banget jadi penulis. Buat Bapak bangga punya anak aku. Setidaknya, aku meninggalkan jejak di muka bumi ini.
Dengan karyaku, dunia tau, bahwa aku ada di sini. Bahwa aku pernah tinggal di sini. Melihat namaku tercantum di sampul buku milikku. Melihat bukuku ikut berjejer di rak buku bersama dengan penulis-penulis lain. Rasa manis, walau masih belum menjadi nyata.
            Waktu berjalan, rasanya baru sebentar mendengar penulis itu berbicara, tau-tau sudah selesai saja. Sebenarnya aku ingin bertanya pada saat sesi tanya jawab, tapi takut. Aku takut pertanyaanku tidak penting. Penyakit ini memang selalu saja membuatku tidak percaya diri.
            Setelah semuanya selesai, akhirnya sesi yang ditunggu-tunggu datang juga. Sesi tanda tangan dan foto. Panas dingin. Ini yang selalu membuatku gugup. Namun, kali ini antrenya tak begitu panjang, bagiku tidak seperti biasanya. Namun sedikit kecewa dengan adik panitia. Ya,, aku tahu mungkin waktunya sudah mepet. Tapi tolonglah jangan korbankan pesertanya. Tadi bagaimana loh mengatur waktu acaranya? Aku juga pernah jadi panitia. Fotonya kayak gak ikhlas pula, belum siap udah dicekrek.
            Tapi terlepas dari itu semua, tetep seneng bisa ketemu Bang Boy. Tetap terima kasih untuk teman-teman UINSA. Alhamdulillah. Aku gak sangka, ternyata Bang Boy ingat namaku ehe. Saat kukasihkan buku untuk ditanda tangani, Bang Boy bilang, “Ria ya?” seneng banget. Alhamdulillah.
            Bagian dari setiap acara Bang Boy yang paling aku suka adalah saat minta tanda tangan, bisa mengobrol walau hanya sebentar.  
Alhamdulillah tahun ini aku sudah ada draff buku. Aku masih ingat, tahun lalu saat tour Malik dan Elsa, waktu Bang Boy tanda tangan di topiku yang bertuliskan “penulis” Bang Boy bertanya padaku, “sudah nulis?” kujawab masih sedikit. Alhamdulillah juga tahun ini ada kemajuan saat Bang Boy bertanya padaku sudah menulis atau belum. Aku sudah menulis, Bang, tulisanku sudah kukirim ke penerbit meskipun aku belum tahu lolos atau tidak. Jadi, begini percakapan kami saat itu.
            “Ria, ya?” adek panitia memberikan buku ku pada Bang Boy.
         “Iya, Bang. Dikasih kata-kata aja.” Ya, aku memang selalu begitu. Bukuku sudah bertanda tangan, jadi aku lebih sering minta tolong diberi kata-kata saja.
            “gimana udah nulis?” tanya Bang Boy sembari menulis kata-kata di bukuku.
            “U..dah, Bang,” jawabku dengan agak grogi dikit hehe.
            “Udah dikirim penerbit?”
            “iya udah juga, Bang.”
            “Kirim ke penerbit mana?” aku mengingat ingat nama penerbit yang kukirimkan naskahnya, namanya bahasa inggris susah dibaca, akhirnya aku menjawab, “ke penerbit bang hehe”
            “Iya, nama penerbitnya apa?”
            “Ke .......... Bang,”
            “Oh ..... kenapa gak dikirim ke .....” tanya bang Boy sembari memberi buku lalu kita foto.
        “gak pede, Bang,” jawabku sembari berjabat tangan dengan Bang Boy. Kali ini punggung tangannya kutempelkan di dahiku. Terbawa suasana, lagipula wajar untuk menghormati yang lebih tua.
            Percakapan kami selesai sampai di situ. Singkat, namun istimewa. Justru yang sebentar itu rasanya susah sekali dilupakan. Terima kasih ya, Bang Boy.
            Pulang dari Surabaya, aku dan Fira pakai maps seperti biasa, salah ambil jalan lagi hehe. Tapi gak nyasar kok. Tetap sampai ke Suramadu. Alhamduliillah.

            Oh iya, aku ingin menulis sesuatu untuk Uda Boy Candra. Beliau adalah penulis pertama yang benar-benar aku sukai karyanya. Terimasih Uda sudah membuatku semakin senang membaca dan menulis. Dan lagi, kata temanku, harus sopan kalau sama Uda Boy Candra. Bahasa jangan kayak ke temen sendiri. Soalnya Uda Boy sudah punya istri, juga bukan teman sebayaku. Baiklah, sepertinya selama ini aku kurang sopan.


Teruntuk Boy Candra, tetaplah memberi napas untuk tulisanku dengan karyamu.

Teruntuk Uda Boy, semoga selalu baik.

Ternyata sudah berjalan empat tahun sejak aku menemukan karya seorang penulis berdarah minang itu. Boy Candra, penulis pertama yang benar-benar aku sukai karyanya. Aku bahkan tak menyangka, akan membeli buku karangan beliau tiap kali terbit. Padahal, aku termasuk anak yang sayang sekali untuk beli buku. Lebih baik pinjam. Dari pada harus mengeluarkan uang untuk sebuah buku yang hanya bisa dibaca satu kali.
Kalau Uda membaca tulisanku di awal 2017 lalu, tentu Uda tahu bagaimana aku menemukan karya Uda. Benar-benar tidak disengaja.
Uda, terima kasih sudah ramah pada pembacamu. Terima kasih untuk ilmu yang kau berikan, untuk motivasi yang kau tuliskan di media sosialmu. Untuk semua karyamu, juga terima kasih. Aku beruntung bisa menemukan mereka.
Sampai sekarang, masih tidak bisa berhenti bersyukur karena bisa bertemu dengan Uda. Diingat namanya, dan bisa berbincang meski hanya sebentar.
Uda, minta doanya untuk teman tumbuhmu ini ya. Semoga bisa lekas menerbitkan buku. Tidak harus menjadi seperti Uda, kurasa itu terlalu muluk-muluk. Tahun ini, aku memberanikan diri mengirimkan karyaku yang tidak seberapa ke salah satu penerbit. Awalnya aku ragu, namun seorang teman meyakinkanku. Dia sudah menerbitkan buku juga, sekarang ia menuntut ilmu di Sumatra Barat.
Uda, aku ini bukan seseorang yang penuh percaya diri. Aku gadis yang terlahir dengan begitu banyak ketakutan. Namun, meski begitu aku selalu mencoba untuk memberanikan diri.
Uda, dari dulu aku sudah senang sekali menulis. Walaupun menulis hal-hal yang tidak begitu penting. Tapi, aku tak berani membagikannya ke orang lain. Aku takut dikira galau, aku takut dikasihani. Tapi sekarang, aku sudah mulai memberanikan diri membagikan tulisanku. Namun, ketakutannya berubah. Tidak lagi takut dikira curhat, tidak takut dikasihani. Tapi aku takut tulisanku dinilai jelek oleh orang lain. Meski begitu, aku tetap menulis. Hingga kemarin, aku ingat Uda mengatakan, “Menuliskan seolah-olah kamu sedang menulis untuk satu orang. Jadi tidak perlu takut jika tulisanmu tidak disukai beberapa orang.”
Sejak tahun 2015 lalu, aku mulai menulis di blog ini, sekadar cerita biasa. Curahan hati. Namun aku senang, sebab melalui tulisan aku bisa bercerita apa saja. Aku menulis juga agar saat ingatanku sudah terbatas, aku bisa membaca tulisanku kembali dan meruncingkan ingatanku lagi.
Terima kasih Uda. Doa baik untukmu. Semoga sehat selalu. Salam dari pembacamu.