Halaman

About

Facebook

Wednesday, June 10, 2015

Di Ujung Senja Yang Kelam

Di Ujung Senja Yang Kelam



Aku masih tetap pada posisi semula, duduk di bangku halte menunggu bus. Entah kenapa hari ini bus datang bengitu lama, tak seperti biasanya. Aku telah lama duduk disini, mungkin bangku halte yang kududuki sudah terasa panas. Juga uang seribu rupiah, yang kini mulai basah oleh kringat karena terlalu lama kugenggam. Rasa jenuh dan bosan mulai mengahampiri. Karena tak ada Huda. Dialah yang biasanya menemaniku menunggu bus. namun semenjak pagi tak terlihat batang hidungnya Aku mengenal Huda saat pertama masuk SMA. Kareka aku sekelas dengannya, rumah kita juga searah, membuat aku dan Huda saling mengenal. Sepulang sekolah kami selalu menghabiskan waktu di halte dekat sekolah. Menunggu datangnya bus. Walau bus yang datang terkadang begitu lama, juga Hujan dan teriknya matahari membuat kita sebal. Namun pada akhirnya kejadian-kejadian itu menumbuhkan benih-benih cinta diantara kita. Beberapa hari yang lalu Huda menyatakaan perasaan cintanya padaku dan bertanya apakah perasaanku sama dengan atau tidak. Namun aku  tak menjawabnya, walaupun sebenarnya aku juga mencintainya. Itu karena aku belum siap mengatakan padanya, aku butuh waktu dan Huda pun mengerti akan hal itu. Tapi, suatu saat nanti aku pasti akan mengatakan padanya. Pada waktu yang tepat.
Hari ini aku berniat untuk pergi kerumahnya, memasktikan. Apakah dia sakit? Apakah dia sedang ada urusan keluarga? Atau jangan-jangan dia membolos? Karena dia tak membawa surat izin hari ini. Kemarin dia bercerita padaku, katanya dia sudah bosan bersekolah. Dia ingin segera lulus. Namun karena hari ini bus datang begitu lama, akhirnya aku memutuskan untuk  mengurungkan niatku. Aku takut pulang kerumah terlalu sore.
 Aku memalingkan wajah, ternyata dari arah barat telah tampak sebuah bus, aku segera bersiap dan menaiki bus itu. Hari ini bus begitu ramai. Sampai-sampai aku tak dapat menggerakkan tubuhku. Beberapa menit kemudian bus telah sampai pada pemberhentian pertama. Huda juga biasa turun di sini. Ternyata banyak sekali yang turun. Rata-rata dari mereka memakai baju gelap dan membawa ember berisi beras. Ternyata itu adalah rombongan pelayat.
              Sekitar 10  menit aku berada dalam bus, aku turun pada pemberhentian kedua.  Kuaarahkan mataku metatap langit. Hari ini matahari begitu terik. Kurogoh ponsel di saku bajuku. Pukul 03.00 ternyata sudah sore, tapi matahari hari tetap saja masih semangat memancarkan sinarnya. Aku mampir kewarung dekat aku turun dari bus tadi sebentar. Duduk sembari mengistirahatkan tubuh dan mendinginkan tenggorokanku.  Karena setelah ini aku harus berjalan lagi sekitar 1km menuju rumahku.
“sore bulek” begitu sapaanku kepada si penjual di warung itu.
“eh Ningrum, mau pesan apa?”
“kayak biasa aja bulek Es blewah”
 “eh, sama gorengannya ya bulek, laper ni” tambahku.
“iya. Ngomong-ngomong kok jam segeni baru pulang?”
“iya bulek, tadi busnya lama, jadinya agak sedikit telat pulangnya.” Jawabku sambil melahab gorengan buatan bulek.
“lah kenapa bus nya lama?”
“katanya sih tadi ada orang yang meninggal di gang dua, terus  bus yang di pakai ngelayat mogok. Jadi dialihin ke bus berikutnya. Makanya lama.” Jelasku “tahu isi gak ada bulek?” tanyaku.
“gak ada udah habus diborong  sama kuli bangunan yang di rumahnya Bu.Desi”
“Bu.Desi jadi bangun rumah disamping  kuburan bulek?”
“iya jadi. Katanya dia sih gak masalah, mau rumah deket kuburan”
“apa gak takut bulek? Kan bu.desi janda? Tinggal dirumah sendirian lagi?”
“ya udahlah lah terserah dia. Oh ya tadi kok ada yang nggali kuburan ya? Yang meninggal siapa? Kok bulek gak tau?”
“em, mungkin tadi yang meninggal di gang dua dikubur disini kali bulek”
“ya kali ya”  tak terasa sudah setengah jam aku berbincang-bincang dengan bulek Tutik. Aku segera pulang kerumah takut kalau nanti aku pulang terlalu sore apalagi aku juga belum sholat ashar.
                                                                        ***
              “Assalamu’alaikum...”
              “Waalaikumsalam.. baru pulang rum?”
              “iya bu” jawabku sambil melepas sepatu.
              “Ya udah, kamu mandi dulu sana, abis mandi sholat. Kamu belum sholat kan? Selesai solat makan, ibu udah masak enak buat kamu.”
              “iya bu. Oh ya, Bapak sama mas Anggar kemana?” aku menengok keruang tengah. “bapak belum pulang ya bu? Biasanya jam segini udah nonton berita bapak.” Lanjutku. Hari ini tatapan mata ibu aneh, seakan-akan suatu kejadian yang buruk telah terjadi. Namun aku tak mau berprasangka buruk terkebih dahulu. Mungkin itu hanya persaanku saja.
              Selesai makan ibu menghampiri ku. Aku benar-benar penasaran, ada apa? Kenapa bapak dan mas Anggar tak ada?
              “Ningrum, dengarkan ibu baik-baik  ya nak” ibu terlihat mulai serius. Aku semakin penasan, apa yang ingin ibu ceritakan. Ibu tak pernah terlihat seserius ini sebelumnya. “Huda nak”
              “Huda? Ada apa sama Huda bu? Kenapa tiba-tiba ngomongin Huda? Tadi Huda gak masuk sekolah soalnya”
              “Huda meninggal dunia” mataku terbelalak mendengar perkataan ibu barusan.
              “Tadi pagi waktu dia berangkat kesekolah dia disrempet motor, dan dari arah yang berlawanan ada mobil yang melaju dengan kencang. Dan saat itu juga ia langsung dilarikan kerumah sakit. Tapi setelah beberapa jam dirumah sakit, tepatnya pukul dua siang. Dia meninggal dunia karena terlalu banyak mengeluarkan darah” aku terdiam mendengar penjelasan ibu, aku sungguh tak percaya dengan perkataan ibu barusan.
              “Ningrum?”
              “Tapi tadi Huda sempet ngirim sms ke aku bu? Tadi dia bilang bakal berangkat” perlahan butir-butir air mataku mulai jatuh membasahi pipiku.
              “Mungkin ini sudah jalannya nak, kamu yang sabar aja” ibu mencoba menghiburku. Tapi itu tak membuat hatiku tenang. Aku semakin terisak mendengar perkataan ibu.. Akhirnya dengan perasaan campur aduk akupun pergi kerumah duka dengan ditemani ibu. Meski sudah senja dan sebentar lagi magrib. Keluarga Huda tetap menguburkan Huda hari ini juga. Mungkin, senja ini akan menjadi senja yang kelam dalam hidupku. Ditinggalkan oleh sahabat yang sangat aku sayangi. Sebenarnya aku tak ingin pergi ke pemakaman Huda. Karena aku takut jikalau nantinya aku tak sanggup melihat jasad Huda dimasukkan keliang lahad. Namun, bagaimanapun Huda adalah teman ku. Teman terbaikku. Aku ingin mengantarkannya keperistirahatan terakhir.
              Air mataku tak sanggup lagi kubendung ketika melihat jasad Huda dimasukkan ke liang lahat dan kemudian di timbun oleh tanah merah yang kemudian ditaburi bunga-bunga. Pipi tirusku kini mulai basah oleh air mata kesedihan. Tak berselang lama, tiba-tiba mataku menjadi gelap. Dan akupun hilang kesadaran.

***

0 comments:

Post a Comment