Di Ujung Senja Yang Kelam
Aku masih tetap pada posisi semula,
duduk di bangku halte menunggu bus. Entah kenapa hari ini bus datang bengitu
lama, tak seperti biasanya. Aku telah lama duduk disini, mungkin bangku halte
yang kududuki sudah terasa panas. Juga uang seribu rupiah, yang kini mulai
basah oleh kringat karena terlalu lama kugenggam. Rasa jenuh dan bosan mulai
mengahampiri. Karena tak ada Huda. Dialah yang biasanya menemaniku menunggu bus.
namun semenjak pagi tak terlihat batang hidungnya Aku mengenal Huda saat
pertama masuk SMA. Kareka aku sekelas dengannya, rumah kita juga searah, membuat
aku dan Huda saling mengenal. Sepulang sekolah kami selalu menghabiskan waktu
di halte dekat sekolah. Menunggu datangnya bus. Walau bus yang datang terkadang
begitu lama, juga Hujan dan teriknya matahari membuat kita sebal. Namun pada
akhirnya kejadian-kejadian itu menumbuhkan benih-benih cinta diantara kita.
Beberapa hari yang lalu Huda menyatakaan perasaan cintanya padaku dan bertanya
apakah perasaanku sama dengan atau tidak. Namun aku tak menjawabnya, walaupun sebenarnya aku juga
mencintainya. Itu karena aku belum siap mengatakan padanya, aku butuh waktu dan
Huda pun mengerti akan hal itu. Tapi, suatu saat nanti aku pasti akan
mengatakan padanya. Pada waktu yang tepat.
Hari ini aku berniat untuk pergi
kerumahnya, memasktikan. Apakah dia sakit? Apakah dia sedang ada urusan
keluarga? Atau jangan-jangan dia membolos? Karena dia tak membawa surat izin
hari ini. Kemarin dia bercerita padaku, katanya dia sudah bosan bersekolah. Dia
ingin segera lulus. Namun karena hari ini bus datang begitu lama, akhirnya aku
memutuskan untuk mengurungkan niatku.
Aku takut pulang kerumah terlalu sore.
Aku memalingkan wajah, ternyata dari arah
barat telah tampak sebuah bus, aku segera bersiap dan menaiki bus itu. Hari ini
bus begitu ramai. Sampai-sampai aku tak dapat menggerakkan tubuhku. Beberapa menit
kemudian bus telah sampai pada pemberhentian pertama. Huda juga biasa turun di
sini. Ternyata banyak sekali yang turun. Rata-rata dari mereka memakai baju
gelap dan membawa ember berisi beras. Ternyata itu adalah rombongan pelayat.
Sekitar
10 menit aku berada dalam bus, aku turun
pada pemberhentian kedua. Kuaarahkan
mataku metatap langit. Hari ini matahari begitu terik. Kurogoh ponsel di saku
bajuku. Pukul 03.00 ternyata sudah sore, tapi matahari hari tetap saja masih
semangat memancarkan sinarnya. Aku mampir kewarung dekat aku turun dari bus
tadi sebentar. Duduk sembari mengistirahatkan tubuh dan mendinginkan
tenggorokanku. Karena setelah ini aku
harus berjalan lagi sekitar 1km menuju rumahku.
“sore bulek” begitu
sapaanku kepada si penjual di warung itu.
“eh Ningrum, mau pesan
apa?”
“kayak biasa aja bulek Es
blewah”
“eh, sama gorengannya ya bulek, laper ni”
tambahku.
“iya. Ngomong-ngomong
kok jam segeni baru pulang?”
“iya bulek, tadi busnya
lama, jadinya agak sedikit telat pulangnya.” Jawabku sambil melahab gorengan
buatan bulek.
“lah kenapa bus nya
lama?”
“katanya sih tadi ada
orang yang meninggal di gang dua, terus bus
yang di pakai ngelayat mogok. Jadi dialihin ke bus berikutnya. Makanya lama.”
Jelasku “tahu isi gak ada bulek?” tanyaku.
“gak ada udah habus
diborong sama kuli bangunan yang di
rumahnya Bu.Desi”
“Bu.Desi jadi bangun
rumah disamping kuburan bulek?”
“iya jadi. Katanya dia
sih gak masalah, mau rumah deket kuburan”
“apa gak takut bulek?
Kan bu.desi janda? Tinggal dirumah sendirian lagi?”
“ya udahlah lah
terserah dia. Oh ya tadi kok ada yang nggali kuburan ya? Yang meninggal siapa?
Kok bulek gak tau?”
“em, mungkin tadi yang
meninggal di gang dua dikubur disini kali bulek”
“ya kali ya” tak terasa sudah setengah jam aku
berbincang-bincang dengan bulek Tutik. Aku segera pulang kerumah takut kalau
nanti aku pulang terlalu sore apalagi aku juga belum sholat ashar.
***
“Assalamu’alaikum...”
“Waalaikumsalam..
baru pulang rum?”
“iya
bu” jawabku sambil melepas sepatu.
“Ya
udah, kamu mandi dulu sana, abis mandi sholat. Kamu belum sholat kan? Selesai
solat makan, ibu udah masak enak buat kamu.”
“iya
bu. Oh ya, Bapak sama mas Anggar kemana?” aku menengok keruang tengah. “bapak
belum pulang ya bu? Biasanya jam segini udah nonton berita bapak.” Lanjutku. Hari
ini tatapan mata ibu aneh, seakan-akan suatu kejadian yang buruk telah terjadi.
Namun aku tak mau berprasangka buruk terkebih dahulu. Mungkin itu hanya
persaanku saja.
Selesai
makan ibu menghampiri ku. Aku benar-benar penasaran, ada apa? Kenapa bapak dan
mas Anggar tak ada?
“Ningrum,
dengarkan ibu baik-baik ya nak” ibu
terlihat mulai serius. Aku semakin penasan, apa yang ingin ibu ceritakan. Ibu
tak pernah terlihat seserius ini sebelumnya. “Huda nak”
“Huda?
Ada apa sama Huda bu? Kenapa tiba-tiba ngomongin Huda? Tadi Huda gak masuk
sekolah soalnya”
“Huda
meninggal dunia” mataku terbelalak mendengar perkataan ibu barusan.
“Tadi
pagi waktu dia berangkat kesekolah dia disrempet motor, dan dari arah yang
berlawanan ada mobil yang melaju dengan kencang. Dan saat itu juga ia langsung dilarikan
kerumah sakit. Tapi setelah beberapa jam dirumah sakit, tepatnya pukul dua
siang. Dia meninggal dunia karena terlalu banyak mengeluarkan darah” aku terdiam
mendengar penjelasan ibu, aku sungguh tak percaya dengan perkataan ibu barusan.
“Ningrum?”
“Tapi
tadi Huda sempet ngirim sms ke aku bu? Tadi dia bilang bakal berangkat” perlahan
butir-butir air mataku mulai jatuh membasahi pipiku.
“Mungkin
ini sudah jalannya nak, kamu yang sabar aja” ibu mencoba menghiburku. Tapi itu
tak membuat hatiku tenang. Aku semakin terisak mendengar perkataan ibu..
Akhirnya dengan perasaan campur aduk akupun pergi kerumah duka dengan ditemani
ibu. Meski sudah senja dan sebentar lagi magrib. Keluarga Huda tetap
menguburkan Huda hari ini juga. Mungkin, senja ini akan menjadi senja yang
kelam dalam hidupku. Ditinggalkan oleh sahabat yang sangat aku sayangi. Sebenarnya
aku tak ingin pergi ke pemakaman Huda. Karena aku takut jikalau nantinya aku
tak sanggup melihat jasad Huda dimasukkan keliang lahad. Namun, bagaimanapun Huda
adalah teman ku. Teman terbaikku. Aku ingin mengantarkannya keperistirahatan
terakhir.
Air
mataku tak sanggup lagi kubendung ketika melihat jasad Huda dimasukkan ke liang
lahat dan kemudian di timbun oleh tanah merah yang kemudian ditaburi
bunga-bunga. Pipi tirusku kini mulai basah oleh air mata kesedihan. Tak
berselang lama, tiba-tiba mataku menjadi gelap. Dan akupun hilang kesadaran.
***







0 comments:
Post a Comment