Halaman

About

Facebook

Sunday, March 25, 2018

Puisi Untuk Ibu - Ria Anggara

Saturday, March 24, 2018

CAHAYA DI MALAM TAHUN BARU


Aku jatuh cinta. Tepatnya di suatu malam ketika langit penuh warna. Cahayanya indah, letupannya membuatku rindu. Begitu juga seorang laki-laki yang berada disampingku pada malam itu. Dua hal yang sangat kurindukan sampai saat ini.
***
Namanya Mas Gangga, seorang pemuda yang suka sekali menulis. Aku jatuh cinta padanya. Pada tulisannya juga pada tiap kata yang diucapkannya. Pemuda itu membuatku mengenal cinta juga mengenal bagaimana rasanya kegilangan cinta. Dia cinta pertamaku, dan aku berharap ia juga cinta terakhirku.
Kami menyukai sesuatu yang sama. Menulis. Kegiatan itu mendekatkan kami. Tepatnya satu tahun yang lalu ketika kami bertemu dibawah cahaya langit yang penuh kerlap-kerlip. Ia adalah salah seorang teman dari temanku Tepatnya temannya Runi. Malam itu, Runi mengajakku melihat festival bunga api ditaman kota. Tak sengaja kami bertemu Mas Gangga, ia adalah kakak kelas Runi di SMA. Pada malam itu, akhirnya kami jalan bertiga. Seketika itu aku mengenalnya. Mas Gangga, kami melihat bunga api bersama. Berbagi cerita tentang kegemaran kami. Dan aku seolah bertemu dengan laki-laki yang memang ditakdirkan untukku. Laki-laki yang memang tercipta untukku. Dibawah langit yang penuh bunga api, aku berada disampingnya. Namun, aku terlalu cepat mengambil kesimpulan.
Awalnya aku tak tau kapan cinta ini datang. Kapan bunga-bunga asmara ini berhamburan ketika ia menatapku. Memang, tak perlu sebuah undangan untuk mendatangkan cinta. Ia akan datang dengan sendirinya, tanpa kita tau, dan tanpa kita duga. Seperti ia yang datang tiba-tiba dan kemudian tanpa pernah kuduga ia pergi secara tiba-tiba pula. Cinta begitu rumit.
Entahlah, sejak pertemuan pada malam itu, aku dan mas Gangga sering menghabiskan waktu berdua. Sekedar ke toko buku, bertukar tulisan, atau sharing tentang lomba menulis.
"Khurbi mau baca cerpen ku?" Tanyanya di sebuah pesan chat yang dikirim pada suatu malam.
"Mau banget Mas," jawabku penuh semangat.
"Oke, aku mau buat buku Bi. Kasih komentar ya,?" Begitulah kedekatan kami. Goresan cerita yang dibuat Mas Gangga mulai mendekatkanku dengan nya. Aku jatuh cinta pada tulisannya. Juga sang penulis cerita yang kubaca.
Pada awalnya aku berfikir mas Gangga hanya dekat dengan ku. Ia tercipta untukku, menjagaku dan mencintaiku. Namun, di suatu sore ketika aku dan Runi tengah mengobrol didepan rumah, tiba-tiba saja Runi mengungkapkan suatu hal tentang dirinya.
"Bi, aku mau jujur sama kamu," katanya dengan penuh teka-teki.
Tentang?"
"Aaa, aku. Aku lagi jatuh cinta," kata Runi dengan sedikit terbata-bata.
"Wahh? Sama siapa Ta?" tanyaku dengan semangat. Bagaimana tidak bahagia, akhirnya sahabatku menemukan cintanya kembali.
"Sama Mas Gangga, ingat kan? Laki-laki yang kita temui dimalam tahun baru dulu?" aku terdiam. Perlahan kulepas tanganku dari genggaman Runi, "Aku punya firasat mas Gangga bakal nembak aku Bi," Runi memang seorang gadis yang cantik, idaman para lelaki. Cinta begitu mudah ia dapatkan. Tak seperti diriku. Aku tak tau, apakah hal ini biasa dalam setiap kisah cinta. Atau hanya aku yang merasakannya.
Cahaya cinta yang kutemui di malam tahun baru itu seolah mulai redup. Tenggelam ditelan awan mendung. Cinta yang kufikir akan kuraih, ternyata menjauh. Dibawa pergi oleh seseorang.
"Gimana Bi?" masih belum ada jawaban dariku. Aku menatap Runi dalam.
"Kamuuu? Dekat sama Mas Gangga? Sejak kapan?"
"Kami sudah lama dekat. Namun, semenjak pertemuan kita ditahun lalu kita jadi dekat lagi. Maaf baru cerita ke kamu. Kamu sih terlalu sibuk baca." jelas Runi panjang lebar. Aku hanya bisa diam dan tersenyum.
Dan dimalam tahun baru... Firasat Runi benar. Tepat satu tahun setelah kami bertiga bertemu. Dimalam yang sama. Malam tahun baru, Mas Gangga menyatakan cinta. Dibawah cahaya lampion dan kerlap kerlip bunga api Runi dan Mas Gangga seolah menjadi bintang dimalam itu. Semua mata tertuju pada mereka. Mas Gangga memberikan sebuah buku pada Runi, dan baru kusadari. Buku itu berisikan cerita-cerita yang dikirim padaku. Maka, selama ini kisah yang kubaca adalah cerita mereka berdua.
Aku terlalu cepat mengambil kesimpulan. Dan cahaya yang ketemui bukanlah cahaya untukku. Namun milik orang lain. Aku patah hati, oleh ia yang membuatku jatuh hati. Dari kejauhan, mas Gangga tersenyum padaku. Itu adalah Desember terburuk pada perjalan cintaku.

Profil penulis
Ria Dwi Anggarawati.
Lahir di Bojonegoro, 21 September 1997. Saat ini menempuh pendidikan di Universitas Trunojoyo Madura jurusan Pg-Paud. Hobby menulis, dan penggemar warna biru. Blog; Anggarawati.blogspot.com, Facebook; Ria Dwi Anggarawati, Twitter; @anggarawati21, Instagram; @Ria_anggara


Bunga Api

sumber. Google


 
Sore itu ayah tak membalas pesan singkatku. Tak mengangkat telfon dari ku atau menghubungiku kembali. Aku tak khawatir, karena ayah memang selalu begitu. Hanya kesal, mengapa ayah harus begitu.
"Halo," pada panggilan ke dua puluh ayah akhirnya mengangkat telfon.
"Ayah!" aku berteriak antusias. Dari balik telfon wajahku berseri. Sudah lama aku tak mendengar suaranya. Terakhir kali kami mengobrol adalah saat aku bilang akan ikut lomba melukis, tepatnya tiga bulan yang lalu. Kuminta pada ayah untuk datang melihat pameran, namun ia tak datang, tak pernah datang ketika aku memintanya untuk datang. Kami tak pernah bertemu semenjak dua tahun terakhir -saat aku diangkat anak oleh budhe, saudara perempuan ayah- lepas merayakan tahun baru bersama.
"Kenapa nduk? Maaf ayah tak mengangkat telfon. Ayah sibuk," jawab ayah datar.
"Ayah dimana? Khurbi ingin ketemu," Kataku penuh harap.
"Masih di gresik nduk, maaf belum bisa bertemu,"
"Yah, Khurbi mau buat pameran lukisan, Ayah datang ya. Nanti sekalian ngerayain tahun baruan sama-sama," ucapku penuh harap. Berharap kali ini memang dapat bertemu dengan ayah, laki-laki yang paling kusayang didunia.
"Iya, insya Allah Desember nanti kita rayakan sama-sama nduk. Ayah pasti datang di pameran mu,"
Sore itu aku membuat kesepakatan dengan ayah. Jika Ayah tak menepati janjinya aku tak akan pernah mau menghubungi ayah kembali.
Desember ini aku memang berencana membuat sebuah pameran lukisan. Beberapa lukisan yang telah kubuat selama satu tahun terakhir. Tentang banyak hal, dan yang pasti tentang Ayah. Laki-laki itu suka melihatku melukis. Dari kecil aku memang hanya tinggal dengan ayah. Aku sering menghabiskan sore hari ditaman untuk melukis senja bersama ayah. Beliau mengajari ku bayak hal tentang melukis. Ayah punya satu mimpi besar dalam hidup nya. "Khurbi kalau sudah besar harus bisa buat pameran lukisan. Lukisan nya Khurbi bagus, sayang kalau cuma disimpan di rumah" katanya di suatu sore sembari mengelus rambutku. Ayah dan aku selalu memiliki agenda rutin ditiap akhir tahun. Di bulan Desember pada malam pergantian tahun kami selalu menghabiskan waktu berdua. Melukis bunga api. Aku pernah bertanya di salah satu Desember pada Ayah, "Kenapa harus melukis bunga api yah? Khurbi ingin menyalakan nya saja, seperti teman-teman lain." lalu dengan senyuman yang penuh ketenangan ayah menjawab, "Supaya bunga api milik kita abadi nduk, tidak seperti milik teman-temanmu yang hanya bisa dilihat beberapa menit kemudian hilang." Aku diam menatap ayah, saat itu Aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
***
Malam hari di bulan Desember, aku melihat seorang laki-laki dengan setelan jas yang rapi. Sepatu pantofel yang dikenakannya pun tampak mengkilap. Ayah datang dalam pameran lukisanku. Aku menghapirinya dengan setengah berlari, memeluknya dan melepas rindu yang selama ini aku simpan. Laki-laki yang ku panggil ayah itu memang benar-benar datang menepati janjinya.
"Ayah kemana saja?" Tanyaku sembari melepas pelukan.
"Ayah sibuk melukis lukisan pesanan langganan nduk," Senyuman ayah masih sama, menenangkan pikiranku.
"Ayah pasti sudah sukses ya sekarang? Ayah tinggal dimana?" pertanyaan yang selama ini kusimpan akhirnya dapat terlontarkan padanya.
"Alhamdulillah. Tenang saja, kapan-kapan ayah ajak Khurbi main,"
"Janji?"  kusodorkan jari kelingkingku sebagai bukti stempel bahwa Ayah memang sedang berjanji. Seperti seorang anak kecil yang tak ingin ditinggal ayahnya pergi.
Ayah tampak sehat dan begitu gembira. Penampilannya malam itu membuatku lega, selama ini kufikir ayah sedang memiliki masalah atau menyembunyikan sesuatu.
Dan pada malam yang lain, aku melihat ayah di alun-alun kota gresik. Namun ayah benar benar berbeda. Baik penampilan atau tentang tempat tinggal nya. Sungguh berbeda dengan yang kulihat dimalam pameran lukisanku minggu lalu. Ayah juga tak menepati janjinya. Janji melukis bunga api bersama dan berkunjung kerumahnya. Karena Ayah tak memiliki rumah, begitu kata teman melukisnya. Ayah hanyalah seorang pelukis jalanan, dan tempat tinggalnya berpindah pindah. Di hari lain aku coba menemui nya kembali di alun-alun kota. Namun, ia tak pernah terlihat lagi dan aku tak tau ia berada dimana. Ayah kembali tak mengangkat telfon dari ku.
Ayah berbohong tentang dirinya. Walaupun begitu ayah tetap yang terhebat. Dan di malam tahun baru ini aku percaya, sedang melukis bunga api bersama Ayah. Walau dari kejauhan dan pada tempat yang berbeda, aku yakin Ayah sedang melukis saat ini. Melukis bunga api seperti yang kami lakukan pada tiap akhir tahun yang telah kami lalui.

Profil penulis
Ria Dwi Anggarawati.

Lahir di Bojonegoro, 21 September 1997. Saat ini menempuh pendidikan di Universitas Trunojoyo Madura jurusan Pg-Paud. Hobby menulis, dan penggemar warna biru. Blog; Anggarawati.blogspot.com, Facebook; Ria Dwi Anggarawati, Twitter; @anggarawati21, Instagram; @Ria_anggara


Sunday, March 11, 2018

KIDS ZAMAN NOW vs. KIDS ZAMAN OLD

Sumber. Google



“Kids Zaman Now” akhir-akhir ini kita sering kali  mendengar kalimat tersebut. Kalimat yang barang kali juga sering kita ucapkan. Entah sebagai sindiran atau sebagai sebutan untuk anak-anak zaman sekarang. Kata “Kids Zaman Now” merupakan sebuah gabungan antara bahasa inggris dan bahasa indonesia. kids yang berarti anak, now yang berarti sekarang.
Kids Zaman Now ini juga sering disebut dengan gerenasi micin. Barangkali karena ditahun-tahun belakangan ini banyak makanan yang mengandung MSG seperti halnya micin. Hal itu berbeda sekali dengan anak jaman dahulu, yang bisa dikatakan belum banyak makanan yang mengandung MSG atau bahan pengawet. Banyak yang menyebutkan keanehan sifat dan pemikiran Kids Zaman Now ini disebabkan oleh micin. Makadari itu selain disebut dengan “Kids Zaman Now” generasi ini juga disebut dengan “Generasi Micin”.
Lalu, sebenarnya apa sih Kids Zaman Now. Bagaimana bisa tiba-tiba ada istilah Kids Zaman Now? Saya pernah membaca sebuah artikel, disana menyebutkan bahwa pertama kali yang menggunakan istilah Kids Zaman Now hingga menjadi viral sampai detik adalah sebuah akun palsu yang mengatasnamakan tokoh pemerhati anak. seperti yang kita tau, media sosial adalah tempat yang paling cepat dalam menyebarkan sesuatu hingga dapat menjadi viral. Maka tak butuh waktu lama untuk membuat para pengguna media sosial tau akan kalimat Kids Zaman Now.
Kids Zaman Now. Yang saya bingungkan mengapa anak-anak justru bangga akan istilah itu. Mereka bahkan sering menyebut-nyebut dirinya sebagai generasi Kids Zaman Now disetiap postingan yang dibagikan. Padahal, menurut saya itu adalah cibiran. Lalu bagaimana pendidikan di mata Kids Zaman Now? Pendidikan yang merupakan sebuah pondasi untuk membangun bangsa menjadi lebih baik lagi. Namun, jika generasi yang tumbuh seperti itu, bagaimana membangun pondasi yang baik?
Apa maksud dari kata “seperti itu”? Kita mulai dari kebiasaan-kebiasaan kecil saja yang dulu sering dilakukan oleh Kids Zaman Old. Seperti bermain dengan teman sebaya dilingkungan sekitar rumah. Berlari larian, bersosialisasi, dan sering bertatap muka secara langsung. Lalu apa yang dilakukan oleh anak sekarang? Apakah sering terlihat anak-anak kecil berlarian disekitar kompleks perumahan?
Coba perhatikan saat kalian melewati suatu jalan sempit yang padat pemukiman. Pasti, disana tertuliskan “pelan-pelan banyak anak-anak” namun nyatanya sepi. Bahkan jarang sekali dijumpai anak-anak bermain di jalanan. Mereka lebih asyik bermain didalam rumah sembari menatap gadget pembelian orang tuanya yang merasa cerdas.
Lalu apakah dalam hal ini gadget menjadi sumber masalah? Apakah gadget perlu dibasmi dari dunia anak-anak? hmm.. melakukan hal itu sangatlah tidak mudah. Apalagi jika sudah benar-benar melekat seperti halnya permen karet yang menempel dirambut. Susah sekali untuk lepas dan dibersihkan. Jika gadget sudah menjadi teman anak atau mungkin sahabat, mereka pasti akan merengek dan bersikeras memintanya kembali. Saya tau karena saya punya seorang keponakan perempuan di rumah.
Umurnya sekitar 5tahun. Tak memilik saudara yang usia nya sebaya didedat rumah. Temannya hanya para orang tua. Ibunya bekerja di luar kota. Maka, sebagai pengganti teman, ibunya membelikan gadget. Agar anaknya tak ketinggalan atau apa tidak tahu juga. Namun yang pasti hal itu makin memperburuk perkembangan pada anak. Hingga sat ini, di usianya yang menginjak 5tahun bicara nya masih terbata-bata. Belum benar-benar fasih. Ia memiliki sepupu, namun sepupunya itu hanya pada hari minggu saja bermain dirumahnya. Maka, selebihnya hanya bermain dengan gadget.
Sebenarnya, melepaskan gadget dari tangan anak-anak bukanlah hal yang sulit jika semuanya dibiasakan mulai dari sekarang. Berhentilah untuk menuruti keinginan anak. Karena dengan menuruti keinginan anak setiap waktu, hal itu malah semakin berdampak buruk bagi anak. Bolehlah sesekali bermain gadget, namun batasi juga jamnya. Lakukan perjanjian terlebih dahulu pada anak sebelum meberikan gadget. Misalkan saja “adek boleh main gadget, tapi Cuma satu jam ya sehari. Kalau adek mainnya lebih dari itu, besok adek gak boleh pegang gadget.” Melakukan kesepakatan pada anak itu sangat penting. Selain mengajari anak untuk memengang janji, hal itu juga dapat menjadi senjata bagi orang tua saat anak ketagihan main gadget. Katakan pada anak “kan adek udah janji Cuma main satu jam, kalau lebih besok gak boleh main lagi lo ya” saat anak ketagihan pada gadget.
Bagaimana jika anak menangis? Biarkan.  Seperti yang kita tau, menagis adalah senjata anak. Dan kelemahan orang tua adalah tidak tega melihat anaknya menangis. Pertanyaannya simple saja. Mau anaknya menangis sekarang atau nanti? Mau anaknya tumbuh jadi generasi emas atau jadi generasi Kids Zaman Now?
Saat anak menangis, lalu orang tua memberikan hal yang di inginkan anak maka esok anak akan menangis lagi saat apa yang ia inginkan tidak di kabulkan. Mengapa demikian, karena dalam pemikiran anak akan seperti ini “jika dengan saya menangis bisa membuat ibu memberikan yang saya mau, maka saya akan melakukan hal itu lagi” percaya atau tidak, perhatikan saja anak disekitar anda.
Kids Zaman Now memang tak selamanya tentang gadget dan media sosial. Namun juga perihal sifat dan kebiasaan yang berbeda sekali dengan anak-anak jaman dulu. Jika anak-anak jaman dulu sering menangis saat bermain dengan teman sebaya, anak jaman sekarang lebih sering menangis saat gadget mereka diambil. Jika anak jaman dulu lebih sering gelisah saat tak punya teman, anak jaman sekarang gelisah saat tak bisa update status. Saat anak jaman dulu sedih saat tak dapat perhatian dari orang tuanya, anak jaman sekarang sedih bahkan hingga berlarut larut saat tak dapat perhatian dari pacarnya.
Miris? Ya bagaimana lagi. Itulah wajah anak jaman sekarang. Siapa yang disalahkan? Gadget? Perkembangan zaman? Orang tua? Guru? Atau pergaulan anak? mungkinkah karena acara televisi? Sebenarnya tidak ada yang disalahakan. Semua yang hadir didunia ini selalu memiliki dampak buruk dan dampak baik. Hanya saja pintar-pintarnya individu dalam menyikapi hal itu.

Pemuda Indonesia

Sumber. Google



“Beri aku 10 pemuda maka akan kuguncangkan dunia”
Pernah mendengar kalimat tersebut? Tentunya sebagai pemuda indonesia kita harus tau kalimat tersebut. Kalimat yang diucapkan Soekarno kepada pemuda-pemuda indonesia. Mengapa hanya 10 pemuda? Mengapa tidak 100 atau bahkan 1000? Hal itu berarti peran pemuda memanglah begitu penting. Dan pemuda adalah mereka yang dapat mengubah dunia. Memiliki peranan penting dalam membangun Indonesia.
Siapa yang membuat indonesia menjadi merdeka seperti sekarang ini? Apakah soekarno? Tentu tidak, Soekarno tak akan mungkin bisa memerdekakan Indonesia tanpa bantuan para pemuda yang menculik Soekarno ke Rengasdengklok. Mendesak Soekarno agar segera membacakan teks proklamasi.
Itu hanyalah gambaran tentang pemuda dimasa sebelum kemerdekaan Indonesia. Lalu bagaimana pemuda setelah indonesia merdeka? Pemuda yang diharapkan soekarno dapat merubah indonesia menjadi lebih baik. Pemuda berintelektual yang menjadi aset negara Indonesia. Tak perlu menilik jauh, kita lihat saja pemuda yang berada disekitar kita. Yaitu mahasiswa. Apakah mahasiswa sudah dapat dikatakan mahasiswa? Maha yang berarti tinggi.
Kita lihat saja Mahasiswa disekitar kita. Mulai dari hal kecil, dalam lingkup Fakultas Ilmu Pendidikan misalnya. Calon guru yang akan menjadi contoh bagi murid-muridnya nanti. Apakah sudah dapat memberi contoh yang baik atau belum. Lihat saja dari contoh kecil seperti membuang sampah, hal sederhana yang ketika dilanggar dapat menjadikan masalah besar. Di ruang kelas gedung RKB-D masih banyak sampah berserakan dibawah bangku. Hal ini memang perlu kesadaran dari dalam diri. Dan mungkin saat ini hal itu sudah menjadi kebiasaan para mahasiswa, kebiasaan menaruh sampah dibawah kursi.
Contoh lainnya, kurang mentaati peraturan. Kita semua tau, Fakultas Ilmu Pendidikan adalah tempat menuntut ilmu untuk calon guru. Dan sekolah adalah tempat bekerja setelah lulus nanti. Maka adap berpakaian perlu diperhatikan dengan baik. Seperti kita tau, larangan menggunakan celana berbahan jeans sudah di gembor-gemborkan saat masuk sebagai mahasiswa baru. Namun pada kenyataannya hingga saat ini masih saja terdapat mahasiswa yang melanggar hal tersebut. Hal yang sering kita alami namun kurang diperhatikan. Agaknya mahasiswa terlalu apatis akan hal itu. Sama halnya dengan larangan merokok. Walau sudah jelas-jelas tak diperbolehkan merokok di area RKB-D namun masih saja terpergok beberapa mahasiswa asik menikmati seputung rokok disekitar gedung RKB-D.
Hal tersebut seolah sudah menjadi sebuah budaya. Bahwa seolah olah adanya peraturan memang untuk dilanggar. Lalu, jika kita saja tak dapat mengatur diri sendiri, bagaimana kita akan mengatur anak didik kita. Bukankah guru adalah contoh untuk murid-muridnya.
Pemuda memang bermacam-macam jenisnya, dan mungkin bisa dikatakan banyak jenisnya. Ada yang apatis, ada kritis. Ada yang pandai beraksi, ada yang pandai ber argumentasi. Ada yang ingin merubah hal disekitarnya menjadi lebih baik, ada juga yang masih asik membenahi diri sendiri. Alhasil tak punya waktu untuk melihat sekeliling. Ada yang asik belajar untuk diri sendiri, adapula yang asik membagi ilmunya untuk dipelajari orang lain. Ada yang peduli lingkungan, ada juga juga yang peduli sosial. Dan yang pasti ada yang tak peduli sama sekali. Yang penting hidup bisa makan, bisa kenyang, bisa senang dan melanjutkan umur tanpa mendapat manfaat dan pelajaran. Lalu, kamu termasuk pemuda yang mana?
Pemuda adalah penengah. Mengapa dikatakan seperti itu? Karena pemuda ada ditengah-tengah masa anak-anak dan masa lanjut usia. Penengah yang diharapkan dapat membawa indonesia kedepan. Lalu, apakah saat ini ada pemuda yang dicari Soekarno seperti yang disebut diawal paragraf tadi? Tentu ada, namun layaknya mencari jarum dalam jerami. Agak sulit, dan tersembunyi. Kemana pemuda itu? Mungkinkah kita salah satunya?
Sebagai pemuda, tentu kita harus lebih peduli. Dilarang apatis. Sebenarnya bukan dilarang, diusahakan jangan apatis. Karena segala yang diusahakan akan berbuah manis.
Tak perlu merubah dari hal yang jauh. Dari hal sederhana saja, seperti menuang sampah pada tempatnya. Dari hal tersebut kita akan lebih peduli pada sekitar. Peduli dari hal kecil saja, seperti sampah. Kemudian peduli kepada hal-hal yang lebih besar. Melihatlah dari hal yang hal paling dekat kita, baru kemudian lihat hal yang agak jauh.
Mahasiswa itu bukan anak sekolah lagi. Yang jika guru berkata A murid ikut berkata A. Yang jika guru pergi ke bagian kanan, murid ikut pergi ke bagian kanan. Mahasiswa tidak seperti itu, mahasiswa itu kritis. Jangan langsung menelan hal baru mentah-mentah. Semua perlu di filter. Jangan jadi mahasiswa abal-abal. Tapi jadilah mahasiswa yang kritis pada banyak hal.



Saturday, March 10, 2018

Perjalanan Ke Kabupaten Seberang

Aku, Kento, Misma
Ini foto sama Misma, kita jarang banget foto berdua. padahal temenan udah lama
taken by. Kento



Akhirnya, setelah sekian lama kami tidak main bersama, hari ini datang juga.Kami sempat berencana untuk main ke Ngawi. Kabupaten seberang yang bersebelahan dari kabupatenku, Bojonegoro. Sebenarnya, kami berniat pergi sore lalu. Namun, karena cuaca yang tak mendukung, niat itu kami batalkan. Padahal kami sudah kumpul dirumah Misa. dan dari pada k bengong, kami putuskan untuk makan seblak saja. Pas sekali, disaat cuaca diluar sedang mendung seblak menghangatkan tubuh kami.Pagi, ditanggal 20 Januari 2018, aku dan Misma berangkat kerumah Kento. Kalau tidak salah sekitar pukul 10 siang. Sebenarnya, pagi itu aku masih belum tau akan pergi kemana. Seperti yang sudah-sudah, aku mah orangnya ikut saja.Aku bahkan tidak bawa helm dari rumah, alhasil aku pakai helm milik kento. Karena kupikir kami hanya main kerumah Kento saja, ternyata tidak. Kami berangkat ke ngawi bertiga. Salah satu anggota kami tidak ikut. Dia juga sedang liburan, bersama temannya yang lain. Namun, bertiga saja sudah sangat luar biasa. Aku senang main bersama mereka.Aku digoceng oleh Misma dalam perjalanan. Temanku yang satu ini memang selalu sabar berteman denganku. Ia selalu menguatkan diri menggoncengku. Bahkan sejak sma. Padahal aku itu gendut lo. Beruntung sekali punya teman seperti Misma. Dia juga baik. Cerewet sih kadang, tapi tak apa dari pada punya sahabat pendiem.Perjalan dari rumah Kento menuju ngawi sekitar satu jam lebih. Sebelum sampai ke lokasi, adzan dhuhur sudah berkumandang. Kami memutuskan untuk pergi ke Masjid dulu untuk sholat. Perjalanan kami lancar-lancar saja saat berangkat, alhamdulillah tidak ada hambatan. Sampai disana, kami seperti orang-orang pada umumnya. Berfoto, mengobrol dan bisa dikatakan lumayan heboh. Kumpul dengan mereka itu harus berisik. Dan untuk sementara, urat malunya juga harus dibuang.Sebenarnya, kento sudah perah pergi kesana. Jadi kami tahu jalanan menuju lokasi wisata itu. Untuk masuk kesana biayanya juga tidak begitu mahal. Hanya jalanan menuju lokasinya saja yang agak terjal.  Kami bergantian mengambil foto. Kadang kami berebutan. Mengomel, karena foto yang diambil tak bagus atau lain sebagainya. Ah, mereka masih sama.Itu adalah liburan satu-satunya kami pada bulan Januari. Kento hanya sebentar di rumah, jadi ya hanya itu liburan kami yang jauh. Sisanya, paling ya hanya main dirmah Misma atau makan bareng diwarung kecil. Sekedar makan mie ayam atau yang lainnya. Walau begitu aku senang. Dari hal-hal sedernaha, sebuah tawa selalu saja mereka ciptakan. Aku juga sering main dirumah Misma seharian. Gak tau waktu memang haha.Puas berfoto, kami memutuskan untuk pulang. Namun, sebetulnya kami berencana untuk makan sebelum pulang. Hingga pada akhirnya, sebuah kejadian melunturkan niat kami untuk mencari makan.Misma dan Kento kena tilang. Kejadian itu meludeskan uang didompet mereka. Sebenarnya, kejadian itu sudah difirasatkan oleh kami. Pasalnya, dibulan itu para polisi sedang melakukan pemeriksaan kartu kendaraan. Dan malangnya, Misma dan Kento belum memiliki SIM. Kami sempat putar balik. Berencana lari dari sekumpulan polisi. Namun, ternyata polisi mengejar kami. Hanya bisa pasrah, yasudah kami menurut apa kata pak polisi.Uang kami ludes. Kami tak jadi cari makan. Padahal perut sudah keroncongan. Dan malangnya lagi, ban sepeda motor kento bocor. Harus cari tambal ban, padahal sudah tak punya uang. Malang, namun ya harus bagaimana lagi. Kami bertiga mencari sisa-sisa uang recehan yang biasanya dianggap sepele dan tak berharga. Sampai pada akhirnya, uang itu cukup dan terkumpul untuk dibayarkan ke bapak tukang tambal ban.Sore itu, bahkan pentol di masjid tampak begitu menggoda, namun sayang tak bisa kami beli. Meski begitu aku senang. Kami susah bersama dan mencari solusi bersama pula. Tidak hanya senang, namun juga pengalaman menegangkan. Serius dikejar pak polisi itu menegangkan. Padahal bukan aku yang akan ditilang. Semoga kami senantiasa bersama saat susah maupun senang.Semoga nanti, ada lagi kesempatan untuk main bersama. Kisah dihari itu, tak akan terlupakan. Itu adalah pengalaman pertamaku dikejar-kejar oleh polisi.

Perjalanan Pulang

sumber. Google

Hai, apakabar.
Semoga kamu yang membaca tulisanku ini selalu bersyukur karena masih bisa bernafas sehingga dapat membaca tulisanku.
Kali ini, aku ingin bercerita kembali lewat sebuah tulisan. Karena aku suka bercerita. Tak selalu bercerita pada sesama manusia, pada labtop atau kertas saja rasanya sudah lega. Karena kadang, bercerita pada sesama manusia itu gak asik.
Hari ini (09/03/18) aku dan temanku (baca: Fira) berencana untuk takziah dirumah Reza. Rumahnya di Sidoarjo, dan karena siangnya Fira harus mengikuti makrab salah satu organisasinya kami berangkat pagi agar bisa sampai Madura lagi pada siang nanti. Aku berangkat dari kost bersama Fira. Namun sesungguhnya ada 3teman yang juga ikut. Desi (rumahnya di gresik) dan mas Davit ditemani temannya.
            Aku dan Fira berangkat pukul 6 dari kost. Kami naik sepeda motor. Kira-kira pukul set 7 kami turun dari kapal. Sebelum kerumah reza kami kumpul dulu dirumah desi. Karena Cuma desi yang tahu rumahnya Reza. Dan sebelum kerumah desi, kami masih harus menunggu Mas Davit dan temannya agar pas kerumah desi kami bisa berangkat bersama-sama. Agak lama menunggu Mas Davit, sampai kira-kira pukul setengah delapan kami baru berangkat dari surabaya.
            Jalanan macet pagi itu, banyak trek dimana-mana. Dan barangkali satu dari beberapa trek itu hampir bisa kupegang. Menyelip di antara dua trek itu sangat menegangkan. Untunglah Fira bisa menyalip dengan baik dan benar. Hingga pukul setegah sembilan kami berempat sampai di Gresik. Bernapas sebentar, meluruskan kaki dan ternyata Desi sudah menyiapkan makanan untuk mengisi perut kami.
            Sudah puas beristirahat, kami langsung memutuskan untuk berangkat kerumah Reza. Jangan salah paham ya, Reza itu seorang perempuan, bukan seorang laki-laki.
            Sebenarnya, jarak rumah Desi dan Reza tak begitu jauh. Barangkali kalau dihitung kira-kira Cuma 45menit perjalanan saja. Namun, pagi itu jalan raya agaknya sedang menggoda kami, perjalanan menuju rumah Rezapun menjadi semakin lama.
            Aku dan Fira berada paling belakang. Desi berada didepan, dan mas Davit di urutan ke-2. Jalanan dari Gresik ke Sidoarjo dipenuh dengan kendaraan proyek. Trek ada dimana-mana. Alhasil harus pintar menyalip. Kalau tidak perjaanan akan semakin lama karena berada di belakang trek yang jalannya lambat. Dan jelas saja, kami terpisah. Aku dan Fira kehilangan jejak Desi dan Mas Davit.
            Di sebuah pertigaan jalan, aku dan Fira ragu-ragu. Harus belok kanan, atau lurus saja. kukatakan pada Fira untuk belok kanan saja. karena saat itu tak ada motor yang terlihat berjalan lurus. Namun, setelah agak lama kami tak juga menemukan keberadaan Desi.  Kami mulai bimbang. Ragu. Apa mungkin salah jalan. Hingga pada akhirnya kami memutuskan untuk kembali. Lamaaa Fira mengendarai motor, namun tak kunjung menemukan Desi dan Mas Davit. Dan ternyata disisi lain, mas Davit sedang mencari kami berdua. Jadi, intinya kami saling mencari satu sama lain.
            Barangkali sekitar setengah jam lebih kami saling cari. Hingga pada akhirnya, memanglah jalan kearah kanan di pertigaan tadi yang benar. Dan ternyata dipertigaan itu ada petunjuk arah. Ah, aku dan Fira tak melihatnya tadi. Setelah menuju arah yang benar, kami masih belum juga bertemu desi dan Mas Davit, lalu aku dan Fira memutuskan untuk menunggu Desi dan Mas Davit di indomart. Dan setelah sekian lama, mereka datang juga. Dengan format yang berbeda. Desi membonceng teman mas Davit, dan mas Davit naik motor sendiri. Dan karena tak mau mengulang kesalahan yang sama, teman mas Davit berangkat duluan dengan membonceng Desi, kemudian Fira dan aku lalu disusul mas David dari belakang.
            Setelah kejadian saling mencari satu sama lain, perjalanan kami berjalan dengan baik. Kami sampai kerumah Reza dengan selamat tanpa kurang suatu apapun. Sebenarnya, karena kejadian nyasar tadi mas Davit sempat ingin mengurungkan niat untuk kerumah Reza. Kamu jangan tanya mas Davit itu siapa ya. Kuharap kalian sudah peka dan tau dengan sedirinya. Yang pasti, mas Davit tidak satu kampus dengan kami.
            Agak lama kami dirumah Reza. Disuguhi makanan lagi. Dengan beraneka ragam makanan ringan pula. Mengobrol ini dan itu. Karena itu hari jumat, maka Mas Davit dan temannya harus jumatan dulu. Sampai pukul satu siang, kami memutuskan untuk pulang. Namun, sebelum pada akhirnya memutuskan untuk kembali ke Madura, kami mampir lagi kerumah Desi. Mengistirahatkan kaki. Sekitar pukul setengah tiga sore kami melanjutkan perjalanan. Akhirnya pulang juga. Mas Davit sudah meluncur lebih dulu dengan jalur berbeda.
            Sore itu, aku dan Fira pulang lewat Gresik Kota. Melewati sebuah Universitas yang mengingatkan ku pada seseorang. Aku tau, seseorang itu tak akan membaca tulisan ini. Maka aku berani untuk menuliskan ini.
            Dan tanpa pernah kuduga. Barangkali Fira juga tak pernah menduganya. Kami terserempet. Dipinggir kami banyak sekali trek. Maklum, jalanan proyek. Dan secara tiba-tiba dari sisi kiri salah seorang pengendara motor menyenggol setir sepeda yang kami naiki. Dan motor sebelah kanan juga menyenggol kami. Kakiku dipepet. Fira oleng dan akhirnya jatuh. Tidak sampai jatuh ketanah memang. Namun aku hampir jatuh ketanah saat itu, aku spontan turun. Kubantu fira yang kesusahan untuk mendirikan motornya. Tangan kirinya yang memegang setir seperti terlihat kesleo saat itu. Dan setelah motor berhasil berdiri, aku naik kembali.
            “wakmu gak opo kan ri” itu kalimat pertama yang Fira tanyakan ke aku. Huh, aku tak apa. Justru Fira yang kenapa-kenapa. Kejadian itu terjadi begitu cepat. Aku tak bisa menjelaskan dengan detail.
            Karena terjatuh tadi, ban motor Fira langsung kempes. Setir motor menjadi oleng. Akhirnya kami berhenti. Dan untunglah, tambal ban berada di sekitar lokasi kejadian. Kami menuntun motor tak begitu jauh. Tangan Fira masih bergetar. Kusuruh dia minum dulu. Aku tau, pasti dia begitu shock. Untung saja tak ada yang menabrak kami dari belakang. Ataupun trek. Kalau ada, aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi.
            Sekitar pukul setengah lima kami sampai di kost. Alhamdulillah selamat. Kami sempat membicarakan bagaimana tabrakan tadi bisa terjadi diatas motor menuju perjalanan pulang. Semoga Fira baik-baik saja. Pasalnya jam enam nanti dia harus pergi ke Pamekasan untuk acara pengakraban.
            Hari itu nano-nano sekali. Namun alhamdullah kejadian terserempet tadi tak begitu parah.