![]() |
| sumber. Google |
Sore itu
ayah tak membalas pesan singkatku. Tak mengangkat telfon dari ku atau
menghubungiku kembali. Aku tak khawatir, karena ayah memang selalu begitu.
Hanya kesal, mengapa ayah harus begitu.
"Halo,"
pada panggilan ke dua puluh ayah akhirnya mengangkat telfon.
"Ayah!"
aku berteriak antusias. Dari balik telfon wajahku berseri. Sudah lama aku tak
mendengar suaranya. Terakhir kali kami mengobrol adalah saat aku bilang akan
ikut lomba melukis, tepatnya tiga bulan yang lalu. Kuminta pada ayah untuk
datang melihat pameran, namun ia tak datang, tak pernah datang ketika aku
memintanya untuk datang. Kami tak pernah bertemu semenjak dua tahun terakhir
-saat aku diangkat anak oleh budhe, saudara perempuan ayah- lepas merayakan
tahun baru bersama.
"Kenapa
nduk? Maaf ayah tak mengangkat telfon. Ayah sibuk," jawab ayah datar.
"Ayah
dimana? Khurbi ingin ketemu," Kataku penuh harap.
"Masih
di gresik nduk, maaf belum bisa bertemu,"
"Yah,
Khurbi mau buat pameran lukisan, Ayah datang ya. Nanti sekalian ngerayain tahun
baruan sama-sama," ucapku penuh harap. Berharap kali ini memang dapat
bertemu dengan ayah, laki-laki yang paling kusayang didunia.
"Iya,
insya Allah Desember nanti kita rayakan sama-sama nduk. Ayah pasti datang di
pameran mu,"
Sore itu
aku membuat kesepakatan dengan ayah. Jika Ayah tak menepati janjinya aku tak
akan pernah mau menghubungi ayah kembali.
Desember
ini aku memang berencana membuat sebuah pameran lukisan. Beberapa lukisan yang
telah kubuat selama satu tahun terakhir. Tentang banyak hal, dan yang pasti tentang
Ayah. Laki-laki itu suka melihatku melukis. Dari kecil aku memang hanya tinggal
dengan ayah. Aku sering menghabiskan sore hari ditaman untuk melukis senja
bersama ayah. Beliau mengajari ku bayak hal tentang melukis. Ayah punya satu
mimpi besar dalam hidup nya. "Khurbi kalau sudah besar harus bisa buat
pameran lukisan. Lukisan nya Khurbi bagus, sayang kalau cuma disimpan di
rumah" katanya di suatu sore sembari mengelus rambutku. Ayah dan aku
selalu memiliki agenda rutin ditiap akhir tahun. Di bulan Desember pada malam
pergantian tahun kami selalu menghabiskan waktu berdua. Melukis bunga api. Aku
pernah bertanya di salah satu Desember pada Ayah, "Kenapa harus melukis
bunga api yah? Khurbi ingin menyalakan nya saja, seperti teman-teman lain."
lalu dengan senyuman yang penuh ketenangan ayah menjawab, "Supaya bunga
api milik kita abadi nduk, tidak seperti milik teman-temanmu yang hanya bisa
dilihat beberapa menit kemudian hilang." Aku diam menatap ayah, saat itu
Aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
***
Malam
hari di bulan Desember, aku melihat seorang laki-laki dengan setelan jas yang
rapi. Sepatu pantofel yang dikenakannya pun tampak mengkilap. Ayah datang dalam
pameran lukisanku. Aku menghapirinya dengan setengah berlari, memeluknya dan
melepas rindu yang selama ini aku simpan. Laki-laki yang ku panggil ayah itu
memang benar-benar datang menepati janjinya.
"Ayah
kemana saja?" Tanyaku sembari melepas pelukan.
"Ayah
sibuk melukis lukisan pesanan langganan nduk," Senyuman ayah masih sama,
menenangkan pikiranku.
"Ayah
pasti sudah sukses ya sekarang? Ayah tinggal dimana?" pertanyaan yang
selama ini kusimpan akhirnya dapat terlontarkan padanya.
"Alhamdulillah.
Tenang saja, kapan-kapan ayah ajak Khurbi main,"
"Janji?"
kusodorkan jari kelingkingku sebagai bukti stempel bahwa Ayah memang
sedang berjanji. Seperti seorang anak kecil yang tak ingin ditinggal ayahnya
pergi.
Ayah
tampak sehat dan begitu gembira. Penampilannya malam itu membuatku lega, selama
ini kufikir ayah sedang memiliki masalah atau menyembunyikan sesuatu.
Dan pada
malam yang lain, aku melihat ayah di alun-alun kota gresik. Namun ayah benar
benar berbeda. Baik penampilan atau tentang tempat tinggal nya. Sungguh berbeda
dengan yang kulihat dimalam pameran lukisanku minggu lalu. Ayah juga tak
menepati janjinya. Janji melukis bunga api bersama dan berkunjung kerumahnya.
Karena Ayah tak memiliki rumah, begitu kata teman melukisnya. Ayah hanyalah
seorang pelukis jalanan, dan tempat tinggalnya berpindah pindah. Di hari lain
aku coba menemui nya kembali di alun-alun kota. Namun, ia tak pernah terlihat
lagi dan aku tak tau ia berada dimana. Ayah kembali tak mengangkat telfon dari
ku.
Ayah
berbohong tentang dirinya. Walaupun begitu ayah tetap yang terhebat. Dan di
malam tahun baru ini aku percaya, sedang melukis bunga api bersama Ayah. Walau
dari kejauhan dan pada tempat yang berbeda, aku yakin Ayah sedang melukis saat
ini. Melukis bunga api seperti yang kami lakukan pada tiap akhir tahun yang
telah kami lalui.
Profil
penulis
Ria Dwi
Anggarawati.
Lahir di
Bojonegoro, 21 September 1997. Saat ini menempuh pendidikan di Universitas
Trunojoyo Madura jurusan Pg-Paud. Hobby menulis, dan penggemar warna biru.
Blog; Anggarawati.blogspot.com, Facebook; Ria Dwi Anggarawati, Twitter;
@anggarawati21, Instagram; @Ria_anggara








0 comments:
Post a Comment