Halaman

About

Facebook

Saturday, March 24, 2018

Bunga Api

sumber. Google


 
Sore itu ayah tak membalas pesan singkatku. Tak mengangkat telfon dari ku atau menghubungiku kembali. Aku tak khawatir, karena ayah memang selalu begitu. Hanya kesal, mengapa ayah harus begitu.
"Halo," pada panggilan ke dua puluh ayah akhirnya mengangkat telfon.
"Ayah!" aku berteriak antusias. Dari balik telfon wajahku berseri. Sudah lama aku tak mendengar suaranya. Terakhir kali kami mengobrol adalah saat aku bilang akan ikut lomba melukis, tepatnya tiga bulan yang lalu. Kuminta pada ayah untuk datang melihat pameran, namun ia tak datang, tak pernah datang ketika aku memintanya untuk datang. Kami tak pernah bertemu semenjak dua tahun terakhir -saat aku diangkat anak oleh budhe, saudara perempuan ayah- lepas merayakan tahun baru bersama.
"Kenapa nduk? Maaf ayah tak mengangkat telfon. Ayah sibuk," jawab ayah datar.
"Ayah dimana? Khurbi ingin ketemu," Kataku penuh harap.
"Masih di gresik nduk, maaf belum bisa bertemu,"
"Yah, Khurbi mau buat pameran lukisan, Ayah datang ya. Nanti sekalian ngerayain tahun baruan sama-sama," ucapku penuh harap. Berharap kali ini memang dapat bertemu dengan ayah, laki-laki yang paling kusayang didunia.
"Iya, insya Allah Desember nanti kita rayakan sama-sama nduk. Ayah pasti datang di pameran mu,"
Sore itu aku membuat kesepakatan dengan ayah. Jika Ayah tak menepati janjinya aku tak akan pernah mau menghubungi ayah kembali.
Desember ini aku memang berencana membuat sebuah pameran lukisan. Beberapa lukisan yang telah kubuat selama satu tahun terakhir. Tentang banyak hal, dan yang pasti tentang Ayah. Laki-laki itu suka melihatku melukis. Dari kecil aku memang hanya tinggal dengan ayah. Aku sering menghabiskan sore hari ditaman untuk melukis senja bersama ayah. Beliau mengajari ku bayak hal tentang melukis. Ayah punya satu mimpi besar dalam hidup nya. "Khurbi kalau sudah besar harus bisa buat pameran lukisan. Lukisan nya Khurbi bagus, sayang kalau cuma disimpan di rumah" katanya di suatu sore sembari mengelus rambutku. Ayah dan aku selalu memiliki agenda rutin ditiap akhir tahun. Di bulan Desember pada malam pergantian tahun kami selalu menghabiskan waktu berdua. Melukis bunga api. Aku pernah bertanya di salah satu Desember pada Ayah, "Kenapa harus melukis bunga api yah? Khurbi ingin menyalakan nya saja, seperti teman-teman lain." lalu dengan senyuman yang penuh ketenangan ayah menjawab, "Supaya bunga api milik kita abadi nduk, tidak seperti milik teman-temanmu yang hanya bisa dilihat beberapa menit kemudian hilang." Aku diam menatap ayah, saat itu Aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
***
Malam hari di bulan Desember, aku melihat seorang laki-laki dengan setelan jas yang rapi. Sepatu pantofel yang dikenakannya pun tampak mengkilap. Ayah datang dalam pameran lukisanku. Aku menghapirinya dengan setengah berlari, memeluknya dan melepas rindu yang selama ini aku simpan. Laki-laki yang ku panggil ayah itu memang benar-benar datang menepati janjinya.
"Ayah kemana saja?" Tanyaku sembari melepas pelukan.
"Ayah sibuk melukis lukisan pesanan langganan nduk," Senyuman ayah masih sama, menenangkan pikiranku.
"Ayah pasti sudah sukses ya sekarang? Ayah tinggal dimana?" pertanyaan yang selama ini kusimpan akhirnya dapat terlontarkan padanya.
"Alhamdulillah. Tenang saja, kapan-kapan ayah ajak Khurbi main,"
"Janji?"  kusodorkan jari kelingkingku sebagai bukti stempel bahwa Ayah memang sedang berjanji. Seperti seorang anak kecil yang tak ingin ditinggal ayahnya pergi.
Ayah tampak sehat dan begitu gembira. Penampilannya malam itu membuatku lega, selama ini kufikir ayah sedang memiliki masalah atau menyembunyikan sesuatu.
Dan pada malam yang lain, aku melihat ayah di alun-alun kota gresik. Namun ayah benar benar berbeda. Baik penampilan atau tentang tempat tinggal nya. Sungguh berbeda dengan yang kulihat dimalam pameran lukisanku minggu lalu. Ayah juga tak menepati janjinya. Janji melukis bunga api bersama dan berkunjung kerumahnya. Karena Ayah tak memiliki rumah, begitu kata teman melukisnya. Ayah hanyalah seorang pelukis jalanan, dan tempat tinggalnya berpindah pindah. Di hari lain aku coba menemui nya kembali di alun-alun kota. Namun, ia tak pernah terlihat lagi dan aku tak tau ia berada dimana. Ayah kembali tak mengangkat telfon dari ku.
Ayah berbohong tentang dirinya. Walaupun begitu ayah tetap yang terhebat. Dan di malam tahun baru ini aku percaya, sedang melukis bunga api bersama Ayah. Walau dari kejauhan dan pada tempat yang berbeda, aku yakin Ayah sedang melukis saat ini. Melukis bunga api seperti yang kami lakukan pada tiap akhir tahun yang telah kami lalui.

Profil penulis
Ria Dwi Anggarawati.

Lahir di Bojonegoro, 21 September 1997. Saat ini menempuh pendidikan di Universitas Trunojoyo Madura jurusan Pg-Paud. Hobby menulis, dan penggemar warna biru. Blog; Anggarawati.blogspot.com, Facebook; Ria Dwi Anggarawati, Twitter; @anggarawati21, Instagram; @Ria_anggara


0 comments:

Post a Comment