Halaman

About

Facebook

Sunday, March 11, 2018

KIDS ZAMAN NOW vs. KIDS ZAMAN OLD

Sumber. Google



“Kids Zaman Now” akhir-akhir ini kita sering kali  mendengar kalimat tersebut. Kalimat yang barang kali juga sering kita ucapkan. Entah sebagai sindiran atau sebagai sebutan untuk anak-anak zaman sekarang. Kata “Kids Zaman Now” merupakan sebuah gabungan antara bahasa inggris dan bahasa indonesia. kids yang berarti anak, now yang berarti sekarang.
Kids Zaman Now ini juga sering disebut dengan gerenasi micin. Barangkali karena ditahun-tahun belakangan ini banyak makanan yang mengandung MSG seperti halnya micin. Hal itu berbeda sekali dengan anak jaman dahulu, yang bisa dikatakan belum banyak makanan yang mengandung MSG atau bahan pengawet. Banyak yang menyebutkan keanehan sifat dan pemikiran Kids Zaman Now ini disebabkan oleh micin. Makadari itu selain disebut dengan “Kids Zaman Now” generasi ini juga disebut dengan “Generasi Micin”.
Lalu, sebenarnya apa sih Kids Zaman Now. Bagaimana bisa tiba-tiba ada istilah Kids Zaman Now? Saya pernah membaca sebuah artikel, disana menyebutkan bahwa pertama kali yang menggunakan istilah Kids Zaman Now hingga menjadi viral sampai detik adalah sebuah akun palsu yang mengatasnamakan tokoh pemerhati anak. seperti yang kita tau, media sosial adalah tempat yang paling cepat dalam menyebarkan sesuatu hingga dapat menjadi viral. Maka tak butuh waktu lama untuk membuat para pengguna media sosial tau akan kalimat Kids Zaman Now.
Kids Zaman Now. Yang saya bingungkan mengapa anak-anak justru bangga akan istilah itu. Mereka bahkan sering menyebut-nyebut dirinya sebagai generasi Kids Zaman Now disetiap postingan yang dibagikan. Padahal, menurut saya itu adalah cibiran. Lalu bagaimana pendidikan di mata Kids Zaman Now? Pendidikan yang merupakan sebuah pondasi untuk membangun bangsa menjadi lebih baik lagi. Namun, jika generasi yang tumbuh seperti itu, bagaimana membangun pondasi yang baik?
Apa maksud dari kata “seperti itu”? Kita mulai dari kebiasaan-kebiasaan kecil saja yang dulu sering dilakukan oleh Kids Zaman Old. Seperti bermain dengan teman sebaya dilingkungan sekitar rumah. Berlari larian, bersosialisasi, dan sering bertatap muka secara langsung. Lalu apa yang dilakukan oleh anak sekarang? Apakah sering terlihat anak-anak kecil berlarian disekitar kompleks perumahan?
Coba perhatikan saat kalian melewati suatu jalan sempit yang padat pemukiman. Pasti, disana tertuliskan “pelan-pelan banyak anak-anak” namun nyatanya sepi. Bahkan jarang sekali dijumpai anak-anak bermain di jalanan. Mereka lebih asyik bermain didalam rumah sembari menatap gadget pembelian orang tuanya yang merasa cerdas.
Lalu apakah dalam hal ini gadget menjadi sumber masalah? Apakah gadget perlu dibasmi dari dunia anak-anak? hmm.. melakukan hal itu sangatlah tidak mudah. Apalagi jika sudah benar-benar melekat seperti halnya permen karet yang menempel dirambut. Susah sekali untuk lepas dan dibersihkan. Jika gadget sudah menjadi teman anak atau mungkin sahabat, mereka pasti akan merengek dan bersikeras memintanya kembali. Saya tau karena saya punya seorang keponakan perempuan di rumah.
Umurnya sekitar 5tahun. Tak memilik saudara yang usia nya sebaya didedat rumah. Temannya hanya para orang tua. Ibunya bekerja di luar kota. Maka, sebagai pengganti teman, ibunya membelikan gadget. Agar anaknya tak ketinggalan atau apa tidak tahu juga. Namun yang pasti hal itu makin memperburuk perkembangan pada anak. Hingga sat ini, di usianya yang menginjak 5tahun bicara nya masih terbata-bata. Belum benar-benar fasih. Ia memiliki sepupu, namun sepupunya itu hanya pada hari minggu saja bermain dirumahnya. Maka, selebihnya hanya bermain dengan gadget.
Sebenarnya, melepaskan gadget dari tangan anak-anak bukanlah hal yang sulit jika semuanya dibiasakan mulai dari sekarang. Berhentilah untuk menuruti keinginan anak. Karena dengan menuruti keinginan anak setiap waktu, hal itu malah semakin berdampak buruk bagi anak. Bolehlah sesekali bermain gadget, namun batasi juga jamnya. Lakukan perjanjian terlebih dahulu pada anak sebelum meberikan gadget. Misalkan saja “adek boleh main gadget, tapi Cuma satu jam ya sehari. Kalau adek mainnya lebih dari itu, besok adek gak boleh pegang gadget.” Melakukan kesepakatan pada anak itu sangat penting. Selain mengajari anak untuk memengang janji, hal itu juga dapat menjadi senjata bagi orang tua saat anak ketagihan main gadget. Katakan pada anak “kan adek udah janji Cuma main satu jam, kalau lebih besok gak boleh main lagi lo ya” saat anak ketagihan pada gadget.
Bagaimana jika anak menangis? Biarkan.  Seperti yang kita tau, menagis adalah senjata anak. Dan kelemahan orang tua adalah tidak tega melihat anaknya menangis. Pertanyaannya simple saja. Mau anaknya menangis sekarang atau nanti? Mau anaknya tumbuh jadi generasi emas atau jadi generasi Kids Zaman Now?
Saat anak menangis, lalu orang tua memberikan hal yang di inginkan anak maka esok anak akan menangis lagi saat apa yang ia inginkan tidak di kabulkan. Mengapa demikian, karena dalam pemikiran anak akan seperti ini “jika dengan saya menangis bisa membuat ibu memberikan yang saya mau, maka saya akan melakukan hal itu lagi” percaya atau tidak, perhatikan saja anak disekitar anda.
Kids Zaman Now memang tak selamanya tentang gadget dan media sosial. Namun juga perihal sifat dan kebiasaan yang berbeda sekali dengan anak-anak jaman dulu. Jika anak-anak jaman dulu sering menangis saat bermain dengan teman sebaya, anak jaman sekarang lebih sering menangis saat gadget mereka diambil. Jika anak jaman dulu lebih sering gelisah saat tak punya teman, anak jaman sekarang gelisah saat tak bisa update status. Saat anak jaman dulu sedih saat tak dapat perhatian dari orang tuanya, anak jaman sekarang sedih bahkan hingga berlarut larut saat tak dapat perhatian dari pacarnya.
Miris? Ya bagaimana lagi. Itulah wajah anak jaman sekarang. Siapa yang disalahkan? Gadget? Perkembangan zaman? Orang tua? Guru? Atau pergaulan anak? mungkinkah karena acara televisi? Sebenarnya tidak ada yang disalahakan. Semua yang hadir didunia ini selalu memiliki dampak buruk dan dampak baik. Hanya saja pintar-pintarnya individu dalam menyikapi hal itu.

0 comments:

Post a Comment